
Semalam
adik bungsu saya menelepon, membagikan
kesedihannya. (ia sudah beberapa bulan hidup di pondok pesantren) ia
kabarkan kesedihan berupa uangnya yang hilang. 200 ribu. Tapi Dua
ratus ribu tidak bisa membuat telinga saya yang dihubunginya jadi
ikut bersedih. Dia sempat menangis dan saya tidak sempat ikut
menangis.
Tapi mamak saya tersedu. Ayah saya tersedu.
Ayah+saya memutuskan menengoknya hari ini.
Sirojuth Tholibin
nama pesantrennya. Ada di daerah
Mranggen,
kabupaten Demak. Sekitar 2 jam ditempuh dengan berkendaraan roda dua sambil berdoa. Harus sambil berdoa. Jalanan dari semarang kesana selalu macet dan berdesak-desakkan. Kami berangkat seusai jam salat jumat melewati kampung kami. Saya cuma memandangnya lewat begitu saja sambil mengipasi kepala saya yang panas. Selama perjalanan ayah saya tertidur di pungung saya , barangkali ia sedang memimpikan sedang menjadi diri saya yang kecil, yang senang menunggang punggungnya tiap malam dan terus berteriak, jah gajah, jalannya yang bener jah. Berapa puluh rambu-rambu dan lampu merah menghentikan saya, untuk sekadar menengok; di kanan kiri tidak ada siapa-siapa.
kabupaten Demak. Sekitar 2 jam ditempuh dengan berkendaraan roda dua sambil berdoa. Harus sambil berdoa. Jalanan dari semarang kesana selalu macet dan berdesak-desakkan. Kami berangkat seusai jam salat jumat melewati kampung kami. Saya cuma memandangnya lewat begitu saja sambil mengipasi kepala saya yang panas. Selama perjalanan ayah saya tertidur di pungung saya , barangkali ia sedang memimpikan sedang menjadi diri saya yang kecil, yang senang menunggang punggungnya tiap malam dan terus berteriak, jah gajah, jalannya yang bener jah. Berapa puluh rambu-rambu dan lampu merah menghentikan saya, untuk sekadar menengok; di kanan kiri tidak ada siapa-siapa.
Pasar
mranggen pada jam satu siang tak
ubahnya buah-buah yang mengelupas, yang
dibanderol 10.000 dapat tiga diatas
mobil pick up. Saya terus melaju setelah
kereta-kereta di depan saya juga melaju.
Memasuki
daerah Mbrabo
saya terus terkesima
menyaksikan rumah-rumah joglo yang masih bertahan. Saya mengambil
sisa-sisa masa lampau di
pintu-pintu kayu mereka, di
kontruksi genteng ang masih lancip,
di pekarangan yang ditumbuhi pohon jambu air. Saya jadi ingat
pembicaraan dengan seseorang, bahwa untuk rumah, dia menyukai desain
minimalis. Bangunan yang sekarang kian subur dan terus menjarah
perasaan tradisional kita. Dalam hati, saya mengiris diri saya
sendiri agar bersedih. Sebagian perjalanan saya gunakan untuk
mengamati arsitektur, adakalanya, di beberapa rumah,
kalimat dari seseorang itu benar, rumah-
rumah butuh dikeramik, butuh dipasangi kanopi, butuh diubah tubuhnya
jadi
kotak bercat hitam dan cokelat, butuh atap yang tidak lagi lancip. Dalam
hati, saya tombak diri saya sendiri agar
lekas tersungkur.
Dan sampailah saya di tempat mengaji adik bungsu saya, setelah melewati
kebun jagung., orang-orang yang
mengeringkan hasil panen, bendungan Jragung.
Rumah-rumah joglo (rumah-rumah yang sebagian lagi memilih diri menjadi
minimalis, semi minimalis, dan mediterania yang timpang).
Ada
hal menarik yang ingin saya catat dari ketika sampai disini, selain
aturan
memakai kopyah dan menunjukkan
kartu muhrim untuk
berkunjung. Jam-jam disini satu jam
lebih cepat dari jam Waktu
Indonesia barat. Kenapa bisa
begitu? Jam di masjid, jam yang ada di dekat perpustakaan, di kantin,
di
ruang tunggu tamu, di kelas-kelas. Jam henpon saya jam 14.30. jam ayah
saya 14.31. seluruh jam yang ada di kawasan ini
menunjukkan pukul 15.35. saya curiga,
meski belum bisa tahu lebih banyak alasannya, mereka sengaja membuat
waktu lebih cepat. Di sini
saya ditawarkan sebuah masadepan satu jam. Saya jadi berpikir, ketika
menginginkan masa lalu datanglah ke tempat-tempat yang menyediakan
bangunan tua yang dibangun beberapa abad
lalu, namun jika menginginkan masa
depan: datang saja ke sini.
Adik
saya
semakin gembrot, semakin tidak bisa
bicara. Semakin mahir bersedih. Kami ngobrol santai di dekat kantin
sambil sama-sama minum teh, makan bekal dari
mamak. Dia ceritakan kembali reka
ulang kesedihan tentang uangnya yang
hilang. Saya lantas berjalan-jalan sebentar melihat aktivitas
anak-anak pondok yang khusus lelaki. Anak-anak bermain bola, anak-anak
sebagian lagi
mendarus kitab, saya melihat diri
saya ada diantara mereka yang
tertidur sambil memeluk buku tajwid. Idghom mutammasilain, idghom
muntajanisain. Aduh ihya Ulumudin..., berapa tegel jarak saya dari
masalalu
surau kecil itu?
Pukul
15.15 Waktu Indonesia Barat saya dan ayah saya pulang.
Ups, selamat tinggal masa depan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus