Jumat, 24 Mei 2013

SELAMAT TINGGAL MASA DEPAN



Saya  libur lagi (baca: tidak masuk  kerja ke kafe), tidak ada rencana kemana-mana  di hari Jumat ini sebenarnya. Pekerjaan  rumah  mencengkeram rencana-rencana bepergian saya. Saya  bangun  pagi (?) pada jam sebelas  siang.  Makan  pagi  jam sebelas lebih sedikit, dan mandi pada jam  sebelas  lebih banyak.  Sebenarnya  saya juga  ingin bangun lebih awal, ingin sesekali dekat dan akrab dengan vitamin D.  Saya selalu bangun dengan kondisi  seperti orang kekurangan air  di sebuah perjalanan  panjang  padang pasir.  Ayah saya juga libur  hari ini (baca: tidak masuk kerja ke restoran).  Ia luangkan diri dan 2 harinya kedepan untuk  pindahan rumah. Ia memindahkan  meja, tempat tidur, jepitan  uban,  jam  dinding, seperti  memindahkan masa lalu dari tangan kiri ke tangan kanan.  Tapi  barang-barangnya yang terlalu banyak tak bisa masuk seketika ke rumah baru, ke perasaaan baru.

Semalam  adik bungsu saya menelepon, membagikan kesedihannya. (ia  sudah  beberapa bulan hidup di pondok pesantren) ia kabarkan  kesedihan berupa  uangnya yang hilang. 200 ribu.  Tapi Dua ratus ribu tidak  bisa membuat telinga saya   yang dihubunginya jadi ikut bersedih.  Dia  sempat menangis  dan saya tidak sempat ikut menangis. Tapi  mamak saya tersedu. Ayah saya  tersedu.  Ayah+saya memutuskan menengoknya hari ini.

Sirojuth  Tholibin  nama  pesantrennya. Ada di daerah Mranggen,
kabupaten Demak. Sekitar  2 jam ditempuh  dengan  berkendaraan  roda dua sambil berdoa.  Harus  sambil berdoa. Jalanan  dari semarang  kesana  selalu  macet dan berdesak-desakkan.  Kami berangkat seusai jam salat jumat  melewati kampung kami. Saya cuma memandangnya  lewat begitu saja sambil mengipasi  kepala saya yang panas.  Selama  perjalanan  ayah  saya tertidur  di pungung saya , barangkali ia  sedang memimpikan  sedang menjadi diri saya yang kecil, yang senang  menunggang  punggungnya  tiap malam dan  terus berteriak, jah gajah, jalannya yang bener  jah. Berapa puluh  rambu-rambu dan lampu merah  menghentikan  saya, untuk sekadar menengok; di kanan kiri tidak ada siapa-siapa. 






Pasar mranggen pada jam satu siang  tak ubahnya  buah-buah yang mengelupas, yang dibanderol  10.000 dapat tiga diatas mobil pick up.  Saya terus melaju setelah kereta-kereta di depan saya  juga melaju.

Memasuki daerah  Mbrabo  saya  terus terkesima menyaksikan  rumah-rumah  joglo yang masih  bertahan.  Saya mengambil sisa-sisa masa lampau  di  pintu-pintu kayu mereka, di  kontruksi genteng ang  masih lancip, di pekarangan  yang ditumbuhi pohon  jambu air. Saya jadi ingat  pembicaraan dengan seseorang, bahwa  untuk rumah, dia menyukai  desain minimalis. Bangunan  yang sekarang kian  subur dan terus menjarah  perasaan tradisional kita.  Dalam hati, saya mengiris diri saya sendiri  agar bersedih. Sebagian  perjalanan saya gunakan untuk mengamati  arsitektur, adakalanya, di beberapa rumah, kalimat dari seseorang itu benar,  rumah- rumah butuh dikeramik, butuh dipasangi kanopi, butuh  diubah tubuhnya  jadi  kotak bercat hitam dan cokelat, butuh atap yang tidak lagi lancip. Dalam  hati, saya tombak diri saya sendiri agar lekas tersungkur. 



Dan sampailah  saya di tempat mengaji  adik bungsu saya, setelah  melewati  kebun jagung., orang-orang  yang mengeringkan hasil panen, bendungan  Jragung. Rumah-rumah joglo (rumah-rumah yang sebagian lagi memilih diri menjadi minimalis, semi minimalis, dan mediterania yang timpang).

Ada  hal menarik yang  ingin saya catat dari  ketika sampai disini, selain  aturan  memakai kopyah dan menunjukkan  kartu  muhrim untuk berkunjung.  Jam-jam disini  satu jam  lebih cepat dari jam  Waktu Indonesia barat.  Kenapa bisa begitu?  Jam di masjid, jam  yang ada di dekat perpustakaan, di kantin, di ruang tunggu tamu, di kelas-kelas. Jam  henpon saya jam 14.30. jam ayah saya  14.31. seluruh jam yang ada di kawasan ini menunjukkan pukul 15.35.  saya curiga, meski  belum bisa  tahu lebih banyak  alasannya, mereka sengaja  membuat waktu lebih cepat.  Di sini  saya ditawarkan sebuah masadepan satu jam.  Saya jadi berpikir, ketika  menginginkan masa lalu datanglah  ke tempat-tempat yang menyediakan  bangunan tua yang dibangun beberapa abad lalu, namun jika  menginginkan masa depan: datang saja ke sini.







Adik saya semakin gembrot, semakin  tidak bisa bicara. Semakin mahir bersedih.  Kami  ngobrol santai di dekat kantin sambil  sama-sama minum teh, makan bekal dari mamak.  Dia ceritakan kembali reka ulang  kesedihan tentang uangnya yang hilang.  Saya  lantas berjalan-jalan sebentar  melihat aktivitas  anak-anak pondok yang khusus lelaki. Anak-anak  bermain bola, anak-anak sebagian  lagi  mendarus kitab, saya  melihat diri saya  ada diantara mereka  yang  tertidur sambil memeluk buku tajwid. Idghom  mutammasilain, idghom muntajanisain.  Aduh ihya Ulumudin..., berapa tegel  jarak saya dari  masalalu  surau kecil itu?

 Pukul  15.15  Waktu  Indonesia Barat saya dan ayah saya pulang. Ups, selamat tinggal masa depan.

1 komentar: