![]() |
es dawet |
"Hawa panas semarang cuma bisa dilawan dengan 2 cara: kipas angin dan minum es"
Kemungkinan itu berlaku untuk orang-orang yang
hidup di dalam lingkaran keterbatasan: tidak kuat beli mesin pendingin
udara.
Tadinya benar benar berharap bisa menemukan gerobak tukang es dawet langganan, sehabis
kepanasan muter muter hunting buku di
kawasan yaik lantai dua. Hari ini saya libur kerja, dan mesti ada yang dikerjakan selain bangun
pagi pada jam sebelas siang— auh,sorga kecil
kehidupan ? , maka sehabis bangun, apalagi dalam kondisi listrik mati, akan
saya temui sisi lain dari hidup. Neraka kecil.
Keluar dari kontrakan saya berangan-angan bisa membawa kipas angin dan
menanamnya di punggung saya. Biar silir, guna memperkecil efek sengatan
matahari yang nauudubilah. Sampailah saya
di samping Kantor pos Kota lama, kawasan johar dengan mengendarai motor dalam
waktu dua puluh menit. Dua puluh menit yang menyerupai jarak dua pulau dalam
metafora. Ini Kantor pos paling menarik di
Semarang yang saya catat . Bentuk bangunannya yang kolonial memang langsung bisa serta merta menjajah ingatan. Makin perih saja kalau mengingat kita ternyata juga tidak bisa membuat
bangunan-bangunan sekokoh yang mereka buat berabad-abad lampau. Selalu ketika sampai
di samping kantor pos ini saya akan mendapati peristiwa yang tokohnya
berulang-ulang ajeg. Tukang parkir yang sudah renta, Tukang pengisi gas korek api yang sudah renta, 3-sampai 4 orang duduk-duduuk
berkerumun bermain catur yang sudah renta. Semuanya laki-laki. Saya curiga mereka
adalah mahkluk-mahkluk yang diciptakan
untuk membuat hari-hari jadi monolanskap. Lanskap mereka agak tertolong dengan
pohon-pohon kersen rindang di kiri jalan
sepanjang beberapa meter.
Saya berjalan ke arah pasar. Melewati para tukang parkir, pedagang bakso di
seberang Almarhum Matahari Mall—aneh, jangan-jangan pasar Johar memiliki sisi klenik, yang tidak
bisa digantikan dengan budaya urban dan postmodern. Memandang
Matahari mall kemudian di seberangnya pasar Johar seperti melemparkan
diri saya ke padang peperangan antara Daud dan Goliath. Itu kenapa tadi saya
katakan pasar Yaik,--Pasar Johar, punya
kekuatan ghaib. Kaki kapitalisme
ternyata tidak memperhitungkan
hal-hal macam itu.
Saya lewati deretan pedagang buah, ada apel,
jeruk mandarin, stroberi, pisang , disusun amat rapi secara vertikal mengakali kios yang amat kecil. Berjejalan kemudian dengan pedangang abrak-abrak:
panci wajan-ulekan, pedagang baju, juga
pedagang rokok yang berjalan hilir mudik dari pojok satu ke pojok lain. Keringatnya
yang berleleran di leher dari kepala
yang ditutupi topi berlambang tim basket negeri amerika yang kucal ingin sekali
aku usap dengan kata-kata: hidup memang begini, bapak.
![]() |
anak-anak bermain layang-layang |
Sampailah saya
di lantai dua, setelah bersusah payah mencari tangga. Betapa susahnya,
ketika tangga itu benar-benar ditutupi aneka dagangan. Aroma busuk sampah
menjadi ucapan selamat datang. Dan saya tersenyum mahfum. Ada jembatan layang kecil yang
menghubungkan bangunan ini dengan
kompleks buku-buku bekas. Di jembatan
itu anak-anak menarik ulur layangan. Saya tertarik untuk berhenti sejenak,
memotret, dan membisikki masa kecil di kepala saya; enak ya mereka, di
terik panas begini masih kuat bermain, tidak takut oleh jam tidur siang yang dulu dipaksakan oleh ibumu. Saya berlalu.
![]() |
penjual es dawet |
![]() |
salah satu pedagang cabai |
![]() |
buku-buku bekas di Yaik lantai 2 |
Sampailah saya di sorga kecil yang lain. Buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku.
Kepala saya sampai pusing. Pusing karena
saking bahagianya. Sayang, tidak banyak buku sastra yang saya harapkan. Ada sih, macam Bumi Manusia-nya Pram, Ronggeng
Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari. Eh, tapi katanya tembakan. Itu artinya baru tapi
tidak asli. Kertasnya buram, lay out nya miring-miring. Ditawari Bekisar merah harganya masih terlalu mahal
untuk ukuran buku bekas: dua puluh lima
ribu! , ini asli mas, kalau mau 20, ya
saya kasih yang baru, tapi ya itu tadi,
tembakan. Sial, ternyata pedagang buku di sini tahu bahasa tubuh pembeli. Mana yang benar-benar
mencari, mana yang cuma iseng tanpa membeli. Dan benar, saya tidak jadi beli
satu bukupun. Saya relakan Bekisar Merah –ahmad Tohari. Saya turun dan melihat jam, sekiranya jam seperti ini pas
untuk minum es, menurunkan suhu badan
sehabis berpanas-panasan.
Tapi apa mau dikata, penjual es dawet yang saya
taksir benar-benar sudah raib.
Meninggalkan keinginan saya, meninggalkan
toko emas ABC yang bertahun-tahun berebelahan dengan gerobaknya yang
dilindungi dengan payung berbahan bungkus semen. Di situ memang ada penjual dawet yang lain.
Tapi sangsi apa lezatnya mampu menyamai penjual dawet yang saya taksir itu apa
tidak. Dan saya membelinya. Kadang kecurigaan
memang perlu dibuktikan. Dan perkiraan saya benar: dawetnya bernilai 5 di lidah saya. Santannya encer,
tidak ada aroma nangka, gula sirupnya
bening, ditambah manisnya saya yakin
ditambah pemanis buatan. Leher saya tiba-tiba jadi pahit. Ingin protes
pada tukang es dawetnya yang masih seusia saya, tapi urung. Ada pembeli lain di
situ, ada penjual jeruk bali di situ, ada ibu-ibu tukang patri emas di situ.
![]() |
tidak enak, tapi habis |
Toh Es
dalam Mangkuk saya sudah tandas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar