Selasa, 07 Mei 2013

TUKANG DAWET MENINGGALKAN KEINGINAN SAYA

es dawet

"Hawa panas semarang cuma bisa dilawan dengan  2 cara: kipas angin dan minum es"


Kemungkinan itu berlaku untuk orang-orang yang hidup di dalam lingkaran keterbatasan: tidak kuat beli mesin pendingin udara. 

Tadinya  benar benar  berharap bisa menemukan gerobak  tukang es dawet langganan, sehabis kepanasan  muter muter hunting buku di kawasan yaik lantai dua. Hari ini saya  libur kerja, dan  mesti ada yang dikerjakan selain bangun pagi  pada jam sebelas siang— auh,sorga kecil kehidupan ? , maka sehabis bangun, apalagi dalam kondisi listrik mati, akan saya temui  sisi lain dari hidup. Neraka kecil. Keluar dari kontrakan saya berangan-angan bisa membawa kipas angin dan menanamnya di punggung saya. Biar silir, guna memperkecil efek sengatan matahari yang nauudubilah.  Sampailah saya di samping Kantor pos Kota lama, kawasan johar dengan mengendarai motor dalam waktu dua puluh menit. Dua puluh menit yang menyerupai jarak dua pulau dalam metafora.  Ini Kantor pos paling menarik di Semarang yang saya catat . Bentuk bangunannya yang kolonial  memang langsung bisa serta merta menjajah  ingatan. Makin perih saja kalau mengingat  kita ternyata juga tidak bisa membuat bangunan-bangunan sekokoh yang mereka buat berabad-abad lampau. Selalu ketika sampai di samping kantor pos ini saya akan mendapati peristiwa yang tokohnya berulang-ulang ajeg.  Tukang parkir  yang sudah renta, Tukang pengisi gas  korek api yang sudah  renta, 3-sampai 4 orang duduk-duduuk berkerumun  bermain catur yang sudah  renta. Semuanya laki-laki. Saya curiga mereka adalah  mahkluk-mahkluk yang diciptakan untuk membuat hari-hari jadi monolanskap. Lanskap mereka agak tertolong dengan pohon-pohon  kersen rindang di kiri jalan sepanjang beberapa meter.

Saya berjalan ke arah pasar. Melewati  para tukang parkir, pedagang bakso di seberang  Almarhum  Matahari Mall—aneh, jangan-jangan  pasar Johar memiliki sisi klenik, yang tidak bisa digantikan dengan budaya urban dan postmodern.  Memandang  Matahari mall kemudian di seberangnya pasar Johar seperti melemparkan diri saya ke padang peperangan antara Daud dan Goliath. Itu kenapa tadi saya katakan pasar  Yaik,--Pasar Johar, punya kekuatan ghaib. Kaki kapitalisme  ternyata tidak memperhitungkan  hal-hal macam itu.

Saya lewati deretan pedagang buah, ada apel, jeruk mandarin, stroberi, pisang , disusun amat rapi secara vertikal  mengakali kios yang amat kecil.  Berjejalan kemudian dengan pedangang abrak-abrak: panci wajan-ulekan, pedagang baju,  juga pedagang rokok yang berjalan hilir mudik dari pojok satu ke pojok lain. Keringatnya yang berleleran  di leher dari kepala yang ditutupi topi berlambang tim basket negeri amerika yang kucal ingin sekali aku usap dengan kata-kata: hidup memang begini, bapak.
anak-anak bermain layang-layang

Sampailah saya  di lantai dua, setelah bersusah payah mencari tangga. Betapa susahnya, ketika tangga itu benar-benar ditutupi aneka dagangan. Aroma busuk sampah menjadi ucapan selamat datang. Dan saya tersenyum mahfum.  Ada jembatan layang kecil yang menghubungkan  bangunan ini dengan kompleks buku-buku bekas. Di jembatan  itu anak-anak menarik ulur layangan.  Saya tertarik untuk berhenti sejenak, memotret, dan  membisikki  masa kecil di kepala saya; enak ya mereka, di terik panas begini masih kuat bermain, tidak  takut oleh jam tidur siang yang  dulu dipaksakan oleh ibumu. Saya berlalu.



penjual es dawet


salah satu pedagang cabai
buku-buku bekas di Yaik lantai 2
Sampailah saya di sorga kecil yang lain. Buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku-buku.  Kepala saya sampai pusing. Pusing karena saking bahagianya. Sayang, tidak banyak buku sastra yang saya harapkan.  Ada sih, macam Bumi Manusia-nya Pram, Ronggeng Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari. Eh, tapi katanya tembakan. Itu artinya baru tapi tidak asli. Kertasnya buram, lay out nya miring-miring. Ditawari  Bekisar merah harganya masih terlalu mahal untuk  ukuran buku bekas: dua puluh lima ribu! , ini asli mas, kalau mau  20, ya saya kasih  yang baru, tapi ya itu tadi, tembakan. Sial, ternyata pedagang buku di sini tahu  bahasa tubuh pembeli. Mana yang benar-benar mencari, mana yang cuma iseng tanpa membeli. Dan benar, saya tidak jadi beli satu bukupun. Saya relakan Bekisar Merah –ahmad Tohari. Saya turun dan  melihat jam, sekiranya jam seperti ini pas untuk minum es, menurunkan  suhu badan sehabis berpanas-panasan.

Tapi apa mau dikata, penjual es dawet yang saya taksir benar-benar sudah  raib. Meninggalkan keinginan saya, meninggalkan  toko emas ABC yang bertahun-tahun berebelahan dengan gerobaknya yang dilindungi dengan payung  berbahan  bungkus semen.  Di situ memang ada penjual dawet yang lain. Tapi sangsi apa lezatnya mampu menyamai penjual dawet yang saya taksir itu apa tidak.  Dan saya membelinya. Kadang kecurigaan memang perlu dibuktikan. Dan perkiraan saya benar: dawetnya  bernilai 5 di lidah saya. Santannya encer, tidak  ada aroma nangka, gula sirupnya bening, ditambah manisnya saya yakin  ditambah pemanis buatan. Leher saya tiba-tiba jadi pahit. Ingin protes pada tukang es dawetnya yang masih seusia saya, tapi urung. Ada pembeli lain di situ, ada penjual jeruk bali di situ, ada ibu-ibu tukang patri emas di situ.
tidak enak, tapi habis
 Toh Es dalam Mangkuk saya sudah  tandas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar